I.
PENDAHULUAN
Membahas hubungan antara Al Qur’an
dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat : adakah
Al qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau
mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui
sumbangan yang di berikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang
dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan
social yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif atau negative)
terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Sejarah membuktikan bahwa Galileo ketika
mengungkapkan penemuan ilmiahnya tidak mendapat tantangan dari satu lembaga
ilmiah, kecuali dari masyarakat dimana ia hidup. Mereka memberikan tantangan
kepadanya atas dasar kepercayaan agama. Akibatnya, Galileo pada akhirnya
menjadi korban penemuannya sendiri. Dalam Al qur’an ditemukan kata-kata “ilmu”
dalam berbagai bentuknya yang terulang sebanyak 854 kali. Disamping itu, banyak
pula ayat-ayat Al qur’an yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran,
penalaran, dan sebagainya,
Kaitannya dengan ilmu pengetahuan,
dunia telah membuktikan dengan banyaknya temuan-temuan terkini yang sejatinya
mempunyai referensi berupa Al-Quran. Temuan tentang alam semesta, nuklir maupun
kejadian di masa kini atau jawaban atas pertanyaan tentang masa lalu, semuanya
sudah termaktub dalam Al-Quran. Penafsiran Al-Quran sendiri seolah tidak pernah
selesai, karena setiap saat bisa muncul sesuatu yang baru, sehingga Al-Quran
terasa selalu segar karena dapat mengikuti perkembangan zaman[1].
Pendapat tersebut diperkuat oleh salah satu pemikir Islam bernama Mohammed
Arkoun yang mengatakan bahwa Al-Quran memberikan kemungkinan arti yang tidak
terbatas, ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi yang baru.
Mengenai fungsi Al-Quran sebagai
sumber dari segala sumber ilmu, seringkali dikatakan bahwa seandainya lautan
yang ada di dunia ini dijadikan tinta untuk menuliskan tafsiran-tafsiran ayat
Quran, maka sampai lautan itu keringpun ayat-ayat Al-Quran belum selesai
ditafsirkan. Pernyataan ini sekedar menggambarkan betapa luasnya isi kandungan
kitab suci umat Islam ini. Betapa banyaknya ilmu yang bisa diperoleh dari
Al-Quran. Pernyataan ini tersurat juga dalam salah satu ayat Al-Quran yang
berbunyi:
Artinya: Katakanlah:”kalau
sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
didatangkan tambahan (lautan) sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi:109)
Oleh karena hal tersebut diatas,
maka dalam kesempatan ini penyusun hendak sedikit mengulas tentang ayat-ayat
Al-Quran yang berisikan tentang ilmu pengetahuan. Semoga apa yang penyusun
sampaikan dalam makalah ini sedikit banyak membantu pembaca dalam memperoleh
khazanah-khazanah keislaman yang baru.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Seberapa
pentingkah memiliki ilmu pengetahuan dalam Islam?
B. Bagaimana
kedudukan orang berilmu dalam Al-Quran?
C. Bagaimana
hubungan antara ilmu pengetahuan dengan kehidupan manusia?
D. Bagaimana
menumbuhkan sikap positif untuk selalu mencari ilmu?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pentingnya
Memiliki Ilmu Pengetahuan Dalam Islam
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peran akal dalam mengenal
hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga bahkan dikatakan
bahwa tak ada agama bagi orang yang tak berakal, dengan akal yang telah
sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam semesta. Melalui akal, manusia
dengan proses berfikir berusaha memahami berbagai realitas yang hadir dalam
dirinya, sehinga manusia mampu menemukan kebenaran sesuatu, membedakan antara
haq dan bathil. Sehingga dapat dikatakan bahwa akal dan kemampuan berpikir yang
dimiliki manusia adalah fitrah manusia yang membedakannya dari makhluk yang
lain.
Artinya: (Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang
lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktiu malam dengan
sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) di akhirat dan mengharap
rahmat Tuhannya? Katakanlah “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran. (Q.S. al-Zumar:9).
Pada
ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang mengetahui (berilmu) dengan
melakukan ibadah di waktu malam, takut terhadap siksaan Allah di akhirat serta
mengaharapkan ridha dari Allah; dan juga menerangkan bahwa sikap yang demikian
itu merupakan sala satu ciri dari ulul al-bab, yaitu orang yang
menggunakan hati untuk menggunakan dan mengarahkan ilmu pengetahuan tersebut
pada tujuan peningkatan akidah, ketekunan beribadah dan ketinggian akhlak yang
mulia.
Sehubungan
dengan ayat هل يستوى الّذين يعلمون والّذين لا يعلمون, al-Maraghi mengatakan: “Katakanlah hai
rasaul kepada kaummu,adakah sama, orang-orang yang menengetahui bahwa ia akan
mendapatkan pahala karena ketaatan kepada tuhannya dan akan mendapatkan siksaan
disebabkan karena kedurhakaannya dengan orang yang mengetahui al-hal yang
demikian itu?” Ungkapan pertanyaan dalam ayat ini menunjukan bahwa yang pertama
(orang-orang yang mengetahui) akan dapat mencapai derajat kebaikan; sedangkan
yang kedua (-orang-orang yang tidak mengetahui) akan mendapatkan kehinaan dan
keburukan.[2]
Imam Al Qurtubi berkata: "Menurut Az-Zujaj
Radhiyallahuanhu, maksud ayat tersebut yaitu orang yang tahu berbeda dengan
orang yang tidak tahu, demikian juga orang taat tidaklah sama dengan orang
bermaksiat. Orang yang mengetahui adalah orang yang dapat mengambil manfaat
dari ilmu serta mengamalkannya. Dan orang yang tidak mengambil manfaat dari
ilmu serta tidak mengamalkannya, maka ia berada dalam barisan orang yang tidak
mengetahui" (Tafsir Al-Qurthubi hal. 5684)
B.
Kedudukan
Orang Berilmu dalam Al-Quran
Artinya: Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q. S. Al Mujadalah:11)
Dari
ayat diatas Allah memerintahkan kepada mereka sebab kecintaan dan kerukunan
diantara orang-orang mu’min. Diantara sebab kecintaan dan kerukunan itu adalah
melapangkan tempat di majlis (pertemuan) ketika ada orang yang datang dan bubar
ketika disuruh bubar. Apabila kalian melakukan hal yang demikin itu, maka Allah
akan meninggikan tempat-tempat kalian disurganya dan menjadikan kalian di dalam
surga termasuk orang-orangyang berbakti tanpa kekhwatiran dan kesedihan.[3]
Dari
ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa para sahabat berlomba-lomba untuk
berdekatan dengan tempat duduk Rasulallah SAW untuk mendengarkan pembicaraan
beliau yang mengandung banyak kebaikan dan keutamaan yang besar. Diperintahkan
pula untuk memberi kelonggaran dalam majlis dan tidak merapatkannya, dan apabila
yang demikian ini menimbulkan rasa cinta didalam hati dan kebersamaan dalam
mendengarkan hukum-hukum agama, maka akan dilapangkan baginya kebaikan-kebaikan
di dunia dan akhirat.
Isi
kandungan pada ayat diatas berbicara tentang etika atau akhlak ketika berada
dalam majelis ilmu. Etika dan akhlak tersebut antara lain ditunjukan untuk
mendukung terciptanya ketertiban, kenyamanan dan ketenangan suasana dalam
majelis, sehingga dapat mendukung kelancaran kegiatan ilmu pengetahuan.Ayat
diatas juga sering digunakan para ahli untuk mendorong diadakannya kegiatan di
bidang ilmu pengetahuan, dengan cara mengunjungi atau mengadakan dan menghadiri
majeis ilmu. Dan orang yang mendapatkan ilmu itu selanjutnya akan mencapai
derajat yang tinggi dari Allah.
Menurut
Imam Al Qurthubi "Maksud ayat di atas yaitu, dalam hal pahala di akhirat
dan kemuliaan di dunia, Allah Subhanahu wa Taala akan meninggikan orang beriman
dan berilmu di atas orang yang tidak berilmu. Kata Ibnu Mas`ud, dalam ayat ini
Allah Subhanahu wa Taala memuji para ulama. Dan makna bahwa Allah Subhanahu wa
Ta ala akan meninggikan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat, adalah
derajat dalam hal agama, apabila mereka melakukan perintah- perintah
Allah" (Tafsir Al-Qurtubi hal. 5070).[4]
C.
Hubungan
Ilmu Pengetahuan dengan Kesejahteraan Hidup Manusia
Ilmu
pengetahuan (science) diberikan Allah kepada manusia melalui kegiatan
manusia itu sendiri dalam usaha memahami alam semesta. Dengan demikian, alam
semesta ini merupakan objek pemahaman sekaligus sumber pengetahuan bagi manusia
yang mau menggunakan akalnya. [5]
Yusuf Ali, salah seorang ahli tafsir Al Qur’an
yang paling terkemuka di zaman modern ini, dalam The Holy Qur’an,
yang selanjutnya dikutip oleh Nurcholish Madjid menulis sebagai berikut:
Semua yang ada di alam semesta untuk manfaat
manusia, melalui kemampuan berfikirnya dan kemampuan-kemampuan yang diberikan
oleh-Nya (Tuhan) kepada manusia itu. Manusia harus tidak pernah lupa bahwa itu
semua berasal dari Dia. Yakni dari Tuhan, sebab bukankah manusia itu khalifah
Tuhan di bumi.[6]
Allah
berfiran dalam surat al Jasiyah ayat 13:
Artinya: Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan
apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir. (Q. S. Al Jaatsiyah: 13)
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa kekayaan yang ada di dunia ini baik yang ada di
langit maupun di bumi semuanya diperuntukan bagi manusia untuk dimanfaatkan
sebaik-baiknya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan pemanfaatan kekayaan
tersebut memerlukan ilmu pengetahuan untuk memprosesnya agar dapat dinikmati
manusia. Tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak akan mengetahui bagaiamana cara
mengolah semua sumber alam tersebut, sehingga manusia tidak akan mendapatkan
apa-apa.
Ayat
lain yang berhubungan dengan anjuran mencari ilmu pengetahuan adalah surat al
Isra’ ayat 36 yang berbunyi:
Artinya: Dan
janganlah engkau mengikuti apa-apayang tiada bagimu pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu tentangnya
ditanyai. (Q. S. Al Isra’: 36)
Ayat
ini memerintahkan: Laukukan apa yang telah Allah perintahkan dan janganlah
engkau mengikuti apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Jangan
berucap apa yang engkau tidak ketahui, jangan mengaku tahu apa yang engkau
tidak tahu atau mengaku dengar apa yang engkau tidak dengar. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, yang merupakan alat-alat pengetahuan semuanya itu tentangnya
ditanyai tentang bagaimana pemiliknya menggunakannya dan dituntut
pertanggungjawabannya.[7]
Ayat
ini di satu sisi menegaskan manusia dalam konteks tanggung jawab untuk setiap
pendengaran, pandangan dan prasangka. Sedangkan di sisi lain memerintahkan
manusia untuk mencari ilmu agar tidak melakukan hal-hal yang tercela seperti
memfitnah, menuduh dan berbohong. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan manusia,
ayat ini menunjukan bahwa dengan mencari ilmu manusia dapat mencegah terjadinya
hal-hal buruk, sehingga akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan.
Ilmu
pengetahuan sangat penting bagi kehidupan manusia, karena tanpa ilmu
pengetahuan manusia tidak akan bisa melakukan apa-apa. Dapat dikatan bahwa ilmu
pengetahuan adalah hal yang paling pokok dalam keberlangsungan hidup manusia. Dengan
ilmu pengetahuan manusia dapat menciptakan benda-benda yang dapat digunakan
untuk mempermudah aktifitas manusia.Ilmu pengetahuan juga bisa dikatakan
sebagai alat untuk memperoleh sesuatu karena dalam semua proses yang dilakukan
manusia memerlukan pengetahuan.
D.
Menumbuhkan
Sikap Positif Selalu Mencari Ilmu
Perkataan
“ilmu” disini bermakna semua cabang pengetahuan tanpa mengecualikan salah satu
diantaranya. Ia mencangkup studi yang berhubungan dengan alam semesta serta
subjek yang berhubungan dengannya, termasuk ilmu-ilmu pengetahuan modern
seperti biologi, kimia, fisika, geologi dan sebagainya. Kitab suci Al-Quran,
mengangkat harkat ilmu-ilmu tersebut dan mendorong manusia agar mempelajarinya
untuk kepentingan bersama[8].
Rujukan yang paling
menakjubkan dan fakta yang paling penting mengenai dorongan mencari ilmu ialah
ayat-ayat yang turun paling awal. Pada hakikatnya, bagian permulaan dari Wahyu
menjadi pertanda bagi fajar ilmu pengetahuan dan pelopor pemberi kedudukan
terhormat kepadanya. Ayat yang pertama kali turun itu berbunyi demikian:
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang (manusia) tidak ketahui. (Q. S. Al Alaq:
1-5)
Dalam ayat
tersebut dapat diketahui perintah Allah SWT kepada manusia untuk menuntut ilmu,
dan dijelaskan pula sarana yang digunakan untuk menuntut ilmu yaitu kalam.
Mencari ilmu
adalah sebuah kewajiban bagi umat manusia dan mengamalkannya juga merupakan
ibadah. Semakin tinggi ilmu yang dikuasai, semakin takut pula kepada Allah SWT
sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun dalam salah
satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu
'anhu, Rasulullah SAW bersabda:
"Perumpamaan apa
yang aku bawa dari petunjuk dan ilmu adalah seperti air hujan yang banyak yang
menyirami bumi, maka di antara bumi tersebut terdapat tanah yang subur,
menyerap air lalu menumbuhkan rumput dan ilalang yang banyak. Dan di antaranya
terdapat tanah yang kering yang dapat menahan air maka Allah memberikan manfaat
kepada manusia dengannya sehingga mereka bisa minum darinya, mengairi tanaman
dengannya dan bercocok tanam dengan airnya. Dan air hujan itu pun ada juga yang
turun kepada tanah/lembah yang tandus, tidak bisa menahan air dan tidak pula
menumbuhkan rumput-rumputan. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah
dan orang yang mengambil manfaat dengan apa yang aku bawa, maka ia mengetahui
dan mengajarkan ilmunya kepada yang lainnya, dan perumpamaan orang yang tidak
perhatian sama sekali dengan ilmu tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah
yang aku diutus dengannya." (HR. Al-Bukhariy)
Di
dalam hadits ini terdapat pengarahan dari Nabi SAW agar bersemangat untuk mencari ilmu, yaitu beliau SAW memberikan perumpamaan terhadap
apa yang beliau bawa, yaitu hujan yang menyeluruh di mana manusia mengambil dan
memanfaatkan air hujan tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian
beliau SAWmenyerupakan orang
yang mendengar ilmu dengan bumi/tanah yang bermacam-macam dimana air hujan
(ilmu) turun padanya:
1.
Di
antara mereka ada orang yang berilmu, beramal dan mengajarkan ilmunya kepada
yang lainnya, maka orang ini seperti tanah yang baik, yang menyerap air lalu
memberikan manfaat pada dirinya dan menumbuhkan tanaman dan rumput-rumputan
sehingga memberikan manfaat bagi yang lainnya.
2.
Di
antara mereka ada yang mengumpulkan ilmu yang dia sibuk dengannya, di mana ilmu
tersebut dimanfaatkan pada masanya dan masa setelahnya dalam keadaan dia belum
bisa mengamalkan sebagian darinya atau belum bisa memahami apa yang dia kumpulkan,
akan tetapi dia sampaikan kepada yang lainnya, maka orang ini seperti tanah
yang menahan air sehingga manusia dapat mengambil manfaat darinya.
3.
Dan
di antara mereka ada orang yang mendengar ilmu tetapi tidak menghafalnya, tidak
beramal dengannya dan tidak pula menyampaikannya kepada yang lainnya, maka
orang ini seperti tanah lumpur atau tanah tandus yang tidak dapat
menerima/menampung air.
Kelompok pertama dan kedua dalam
perumpamaan tersebut kelak akan dikumpulkan menjadi satu karena kebersamaan
mereka dalam memanfaatkan ilmu yang mereka miliki walaupun derajat
kemanfaatannya bertingkat-tingkat. Dan kelompok ketiga yang tercela akan
dipisahkan dari kelompok satu dan dua karena tidak adanya kemanfaatan darinya.
(Fathul Baarii 1/177)[9]
Dan tidak diragukan lagi bahwasanya
terdapat perbedaan yang besar antara orang yang mencari ilmu lalu memberikan
manfaat pada dirinya dan orang lain dengan orang yang rela dengan kebodohan dan
hidup dalam kegelapannya sehingga dia tidak mendapat bagian sedikit pun dari
warisannya para Nabi.
Adapun hal ini diperkuat
oleh firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang
mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S. At Taubah: 122)
Orang-orang
yang beriman tidak wajib pergi semua untuk berjihad atau menuntut ilmu, dan
meninggalkan negeri mereka dalam keadaan kosong. Tapi harus tetap ada yang
tinggal disana dan satu kelompok lagi yang keluar menuntut ilmu yang
bermanfaat. Apabila mereka kembali ke kampung halaman, mereka wajib mengajarkan
ilmu yang diperoleh kepada kaumnya yang tidak ikut menuntut ilmu. Mereka harus
memberikan pemahaman kepada kaumnya tentang agama Allah SWT, memperingatkan
mereka akan bahaya maksiat dan melanggar perintah-Nya. Menyerukan supaya mereka
bertakwa kepada Tuhan mereka dengan mengamalkan kitab-Nya dan sunnah Nabi SAW.[10]
IV.
KESIMPULAN
Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi peran akal dalam mengenal hakikat segala sesuatu. Begitu
pentingnya peran akal, sehingga bahkan dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang
yang tak berakal, dengan akal yang telah sempurna itulah maka Islam diturunkan
ke alam semesta.
Allah akan meninggikan tempat
bagiorang-orang yang berilmu disurganya dan menjadikan mereka di dalam surga
termasuk orang-orangyang berbakti tanpa kekhwatiran dan kesedihan.
Ilmu
pengetahuan sangat penting bagi kehidupan manusia, karena tanpa ilmu
pengetahuan manusia tidak akan bisa melakukan apa-apa.
Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban
bagi umat manusia dan mengamalkannya juga merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu
yang dikuasai, semakin takut pula kepada Allah SWT sehingga dengan sendirinya
akan mendekatkan diri kepada-Nya.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini penyusun buat, penyusun mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah
ini terdapat kekurangan. Penyusun meminta kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan
makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.
[1] Wisnu Arya Wardhana, Al Quran dan Energi Nuklir, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 55.
[2] H.Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,(Jakarta:Rajawali
Pers,2009), hlm.166
[3] H.Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,(Jakarta:Rajawali
Pers,2009), hlm.155
[4] Ahmad Musyafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang
Karya toha Putra 1993), hlm.22
[5] Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmy, (Jogjakarta: Menara Kudus
Jogja, 2004) hlm. 258.
[6]Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmy, (Jogjakarta: Menara Kudus
Jogja, 2004), hlm. 254.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al
Qur’an, ( Jakarta: Lentera Hati,
2002) hlm. 464.
[8]Muhammad JamaluddinElFandy, AlquranTentangAlamSemesta,(Jakarta:
AMZAH, 2008,) hlm. 1.
[10]Aidh Al Qorni, Tafsir Muyassar Jilid 2, (Jakarta: Qisthi Press,
2007), hlm. 165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar